BANTAENG, – Aliansi Mahasiswa Bantaeng Bersatu (Ambar) turun langsung melihat derita masyarakat Dusun Mawang, Desa Papanloe, Kecamatan Pa’jukukang, Kabupaten Bantaeng, Kamis (1/8) sore.
Dusun Mawang dihuni kurang lebih 200 Kepala Keluarga (KK) yang berbatasan langsung dengan pagar Pabrik smelter PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia di Bantaeng.
Smelter ini diresmikan Sabtu, 26 Januari 2019, oleh Nurdin Abdullah, Gubernur Sulawesi Selatan yang juga mantan Bupati Bantaeng dua periode.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepala Dusun Mawang, Sulaiman yang ditemui mengaku semenjak beroperasinya pabrik Smelter, dia setiap hari harus menikmati debu dan suara bising pabrik.
“Masyarakat kami setiap harinya harus menikmati debu dan kebisingan pabrik,” kata dia.
Saat ditanya apakah warganya ada yang sakit, dia menjelaskan semenjak beroperasinya pabrik ini, berbagai gejala sakit aneh mulai berdatangan.
“Banyak mi yang sakit – sakitan. Pihak Smelter, Karaeng Rita juga pernah datang, dia bilang kalau sakit yang masyarakat terima bukan karena Smelter, masyarakat akan dituntut balik,” katanya menirukan ucapan pihak Smelter.
Dia juga pernah dijanji oleh pihak pabrik untuk diberikan ganti rugi maupun fasilitas kesehatan, namun sampai satu tahun janji ini tak kunjung direalisasikan.
Dalam perjalanan awak media dengan sejumlah aktivis Ambar, satu – persatu masyarakat datang mengeluhkan penyakit yang dideritanya.
Salah satu warga, Dahlan mengatakan, ketika angin datang membawa debu, masyarakat mau tidak mau harus menikmati debu.
“Kalau angin datang, pasti banyak debu ikut. Kalau sakit, sekarang mulai mi banyak. Batuk, sesak nafas, apalagi kalau anak kecil, rentan sekali sakit. Tanaman juga mulai bermasalah, banyak gagal panen,” kata dia.
Masyarakat Mawang juga bercerita, pernah ada warga sekitar pabrik yang meninggal karena muntah darah. Pihak Smelter datang mengancam mereka untuk tidak melakukan visum apalagi untuk mencari penyebab kematian.
Aktivis Ambar, Ardiansyah mengatakan bahwa kedatangannya di Dusun Mawang untuk membuktikan bahwa pabrik Smelter sangat meresahkan masyarakat.
“Ini adalah tindaklanjut aksi kami kemarin di Kantor Gubernur Sulsel. PT Huadi untuk sementara waktu harus ditutup untuk lantaran melabrak banyak regulasi,” kata dia.
Masyarakat di Dusun Mawang setiap harinya harus menikmati debu limbah slag yang kini juga berbau. Selain itu, getaran pabrik juga menjadi keluhan masyarakat.
“Kita di sini dapat melihat, jarak tumpukan limbah slag hanya sepuluh meter dari rumah warga. Dalam Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) jarak sebuah Smelter dari pemukiman minimal 1 Kilometer,” terangnya.
Aktivis lainnya, Iccang mengatakan terak atau ampas bijih (slag) dari hasil pengolahan pabrik pemurnian logam mineral (smelter) adalah kategori sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
“Limbah ini sangat berbahaya bagi manusia, apalagi dengan jarak sangat dekat seperti ini,” kata dia. (*)
Bersambung…