Membaca materi yang dibawakan oleh Prof. Din Syamsuddin dalam kajian yang digelar Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, ada hal menarik. Oleh kanal (media online) PWMU.CO mengulas kembali materi tersebut, bahwa Prof. Din menegaskan ada lima harapan dalam rangkaian ayat-ayat puasa.
Prof. Din menegaskan bahwa berdasarkan hasil temuannya, ayat-ayat al-Qur’an tentang puasa dan Ramadan selalu ditutup dengan kalimat raja’ (harapan). Dan menurutnya, hal itu merupakan “harapan Allah SWT sebagai pencipta terhadap manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya”. Selain itu ditegaskan pula bahwa kalimat harapan dalam bahasa Arab disebut “la’alla”. Memiliki maksud harapan yang mungkin untuk dilakukan meski bukan sesuatu yang ideal.
Kalimat raja’ (harapan), “la’alla” itu terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 183,185,186,187, dan 189. Prof. Din sendiri mengakui, belum selesai memahami kalimat raja” yang diungkapkan secara beruntun dalam satu rangkaian ayat. Tapi yang pasti ayat-ayat tersebut full of meaning (penuh makna) dan harus mampu men-tadabburi. Seperti itu penegasannya.
Dari hal tersebut di atas, saya mengelaborasi dengan berbagai perspektif untuk menemukan makna fungsional. Kalimat “harapan” dari ayat-ayat puasa tersebut, jangan hanya menyentuh dimensi transendensi. Melainkan diharapkan memenuhi ruang psiko-idealitas dan sosio-empiris manusia. Apalagi Prof. Din telah menggarisbawahi bahwa yang menarik dari harapan-harapan tersebut, Allah meletakkan bukan pada isim (kata benda) melainkan pada fi’il (kata kerja).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saya bukan seorang mufasir, tidak memiliki kemampuan menafsir. Hanya dengan bermodal akal dan pikiran rasional dan berpijak pada elaborasi berbagai perspektif untuk menemukan satu pemahaman bahwa dalam puasa mengandung the power of hope (kekuatan harapan).
Bagi yang pernah membaca kisah inspiratif tentang empat lilin yang bernama “damai”, ”cinta”, ”iman” dan “harapan” sedikit lebih mudah memahami, mengapa harapan mengandung kekuatan. Substansi kisah inspiratif tersebut, bahwa meskipun tiga lilin mati (padam) atau mematikan (memadamkan) diri, tetapi selama lilin “harapan” masih menyala maka tiga lilin lainnya bisa dinyalakan/dihidupkan kembali. Bagi seorang pujangga, harapan adalah alat pelampung agar tidak tenggelam dalam samudera kehidupan.
Dengan menempatkan kalimat harapan di akhir setiap ayat tersebut, saya memaknai betapa pentingnya sebuah harapan. Iman, petunjuk/pedoman, keteladanan, perintah bahkan kedekatan sekalipun seakan sulit untuk diikuti dan dilakukan tanpa adanya harapan.
Agama dan pengendalian diri yang dikonstruksi melalui puasa, termasuk potensi dahsyat yang telah built-in dalam diri tidak akan mampu membuat manusia untuk tetap berjalan di atas platinum track tanpa adanya harapan. Allah pun memiliki harapan terhadap hamba atau ciptaan-Nya.
Atas dasar cinta Allah kepada hamba-Nya, harapan Allah ini ditransmisikan dan diinternalisasi untuk memenui ruang psiko-idealitas dan sosio-empiris manusia. Dalam ruang psiko-idealitas harapan berfungsi sebagai energi. Harapan berfungsi sebagai kiblat yang mengandung “medan magnet” (daya tarik yang kuat).
Harapan yang mungkin sebagian memandang sebagai sesuatu yang abstrak, namun sesungguhnya itu adalah—sebagaimana dikutip dari Snyder oleh tim yang menamakan dirinya universitas psikologi—jalur mencapai tujuan yang diinginkan. Dan didalamnya terdapat pula motivasi untuk menggunakan jalur tersebut.
Di dalam harapan terkandung berupa kekuatan to see. Oleh Rhenald Kasali to see adalah satu di antara tiga yang harus dimiliki untuk melakukan change. Bahkan bagi Rhenald, gagal melihat (failure to see) adalah gagal melakukan change (perubahan). To see (melihat) di sini adalah bukanlah melihat dengan menggunakan mata kepala, tetapi melihat dengan baik di alam mental sesuatu yang menjadi visi atau harapan. Ini senada dengan gambaran Snyder di atas.
Bagi tim universitas psikologi sebagaimana dikutipnya dari Anderson dalam Snyder, harapan adalah “keadaan termotivasi yang positif yang didasarkan pada hubungan interaktif antara agency (energi yang mengarah pada tujuan) dan pathway (rencana untuk mencapai tujuan). Dan Edward pun menegaskan “harapan adalah suatu mental yang positif yang akan meningkatkan kemampuan seorang individu untuk mencapai tujuan di masa depan”.
Menurut Ruben Gonzalez bahwa Napoleon pernah mengatakan “tugas paling penting dari seorang pemimpin adalah memberi harapan kepada pasukannya”. Jauh sebelum Napoleon mengatakan bahkan sebelum dirinya lahir (1769 M) Rasulullah saw telah melakukan satu hal yang disebut Bisyarah dan Allah pun senantiasa memberikan Bisyarah. Dari Bisyarah inilah yang menjadi harapan besar umat Islam.
Bisyarah adalah janji dan kabar gembira dari Allah dan diteruskan oleh Rasulullah saw atau pun dari Rasulullah saw sendiri. Cara Rasulullah memberi harapan beyond (melampaui) cara Napoleon. Rasulullah menyertainya dengan janji dengan kemampuan to see yang yang jelas dan luar biasa dan mengandung kabar gembira.
Sebagaimana dikutip oleh Felix Y. Siauw dalam bukunya “Beyond The Inspiration” bahwa “Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata, ‘ketika kami duduk di sekeliling Rasulullah saw untuk menulis, tiba-tiba beliau ditanya kota manakah yang akan ditaklukkan terlebih dahulu, Konstantinopel atau Roma? Rasulullah saw menjawab, ‘kota Heraklius ditaklukkan terlebih dahulu (maksudnya Konstantinopel),” (HR. Ahmad).
Kemudian Rasulullah saw menegaskan “Kalian pasti akan membebaskan Konstantinopel, sehebat-hebat amir (panglima perang) adalah amir-nya dan sekuat-kuatya adalah pasukannya.” (HR. Ahmad). Kedua hal inilah yang bertransformasi dan dikonversi menjadi harapan besar umat Islam pada saat itu, sampai akhirnya pada tahun 1453 oleh Muhammad Al-Fatih berhasil menaklukkan Konstantinopel. Betapa besar pengaruh sebuah harapan.
Harapan yang berwujud energi, penglihatan mental, motivasi, itulah yang saya maksud sebagai harapan yang telah memenuhi ruang psiko-idealitas. Menempati dimensi mental dan menjadi sesuatu yang dinilai sangat ideal dan bahkan diyakini bisa dicapainya.
Harapan yang memenuhi ruang sosio-empiris manusia adalah suatu dampak nyata dari sebuah harapan dalam dimensi kehidupan sosial dan pengalaman empirik. Harapan bukan hanya sesuatu yang abstrak. Harapan yang telah memenuhi ruang sosio empiris manusia akan mampu menunjukkan kinerja, usaha yang luar biasa.
Bahkan harapan yang telah sampai dalam ruang ini akan mampu menjadi minyak pelumas agar misi yang dijalankan semakin jelas. Ini senada dengan yang disampaikan oleh Ruben Gonzalez “Bila ada harapan di masa depan, ada kekuatan di masa kini”. Harapan akan terimplementasi menjadi kerja nyata agar orang-orang di sekitar kita, mampu menemukan keteladanan.
Dalam ruang sosio-empiris inilah jika saya menarik garis relasi dengan konsepsi change Rhenald Kasali, langkah kedua dan ketiga setelah langkah pertama (to see) dalam rangka melakukan change, bisa terimplementasi. Bagi Rhenald Kasali perubahan sulit dilakukan bukan hanya karena failure to see (gagal melihat) tetapi termasuk gagal memulai/bergerak (failure to move) dan gagal menyelesaikan (failure to finish).
Muhammad Al-Fatih yang mendapatkan “warisan” Basyirah dari Rasulullah saw yang telah mengalami transformasi dan konversi menjadi harapan besar dan mulia dirinya. Harapan itu bukan hanya berwujud transendensi tetapi memenuhi ruang psiko-idealitas dan sosio-empiris dirinya. Dari hal ini Muhammad Al-Fatih mampu melakukan to see (berada dalam ruang psiko-idealitas) to move dan to finish (berada dalam ruang sosio-empiris). Hal ini adalah proses redefenising sederhana saya dari konsepsi change Rhenald Kasali—relasinya dengan harapan.
Jadi ayat-ayat puasa yang mengandung harapan “agar kamu bertakwa”, “agar kamu bersyukur”, “agar mereka memperoleh kebenaran”, “agar mereka bertakwa”, dan “agar kamu beruntung” memiliki makna fungsional untuk dilihat di alam mental (to see) untuk menjadi energy dahsyat.
Dan dari energi ini mampu harus mampu untuk to move (menggerakkan segera lakukan, mulai bergerak) dan jangan setengah-tengah, tuntaskan semua rukun, semua perintah, anjuran yang menjadi prasyarat di dalamnya. Dengan itu semua maka terjadi perubahan (change) dalam diri agar kita betul-betul “bertakwa”, “bersyukur”, “memperoleh kebenaran”, “ketakwaan kolektif”—apalagi dalam konteks Indonesia hari ini, terasa sangat penting—, dan “beruntung”.
Sekali lagi ingat penegasan dan temuan Prof. Din di bagian awal tulisan ini bahwa, “dari harapan-harapan tersebut, Allah meletakkan bukan pada isim (kata benda) melainkan pada fi’il (kata kerja)”.
Oleh: Agusliadi Massere
(Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Kabupaten Bantaeng)